Opini, Bedahnusantara.com: Oleh: Holmes N. Matrutty: Demonstrasi beberapa kelompok masyarakat kepada Walikota Ambon dan Gubernur Maluku terkait pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) semarak dalam beberapa minggu yang lalu. Begitu pula persilangan pendapat di tengah masyarakat soal efektivitas kebijakan PSBB dan implikasi sosial-budaya serta ekonomi yang menyeruak bersamanya, ramai dibahasakan di berbagai platform media sosial dan media massa arus utama di Maluku. Sekurang-kurangnya, ada tiga kategori kelompok sosial yang muncul dari dalam masyarakat menyikapi kebijakan pemerintah untuk mengatasi pandemi virus corona di Maluku.
Holmes N Matrutty |
Yang pertama: kelompok masyarakat umum (khalayak ramai). Kelompok ini sangat lantang menentang PSBB. Di sini ada pedagang kaki lima, sopir angkutan umum, pengemudi speedboat, ojek dan taksi, ibu-ibu rumah tangga, pengangguran, buruh kasar, pekerja level bawah dan menengah di sektor swasta. Yang kedua; kalangan civil society yang sesekali bersikap kritis terkait kebijakan PSBB. Di sini bercokol tokoh-tokoh agama, akademisi, mahasiswa, pers, LSM, intelektual bebas, kalangan dunia usaha, dan DPRD. Dan yang ketiga; pelaksana kebijakan PSBB itu sendiri, yakni pemerintah daerah. Tiga kategori kelompok sosial tersebut muncul dengan agenda dan perspektif pemikirannya masing-masing dalam menyikapi kebijakan PSBB dimaksud.
Terus terang, di saat pandemi ini, histeria massa kini terus membuncah. Tangis pilu membahana. Nyaris, kita semua terkurung dalam penjara psikologi sosial akibat situasi darurat (state of emergency) yang tak berkepastian. Tidur-bangun kita bak di samudera luas. Terserah maunya kita saja. Terlintas dalam pikiran, matahari terbit begitu cepat, tetapi juga terasa lamban terbenam. Menghitung hari adalah sejumput asa kita menanti hari esok. Di tengah-tengah penantian itu, kita terpaksa memendam hasrat diri. Di kala bersukacita, kita menangis, tetapi di saat dukacita menerjang, kita harus tetap tertawa. Apa boleh buat! Terpaksa curahan hati, kritik dan protes bertumpah ruah ke dalam ruang publik kita.
Yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana memahami perspektif pemikiran dan sikap berbagai kelompok sosial mengenai situasi pagebluk ini? Mengapa ada gerangan seseorang atau sekelompok warga masyarakat berpikir begini, dan bukan begitu? Faktor-faktor apa sajakah yang ikut mempengaruhi warna-warni pemikiran seseorang warga? Untuk menyelami semua itu, para ahli sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) telah menyediakan panduan konseptual atau teoritis bagi kita untuk memahami kaitan antara pengetahuan atau pikiran seseorang dengan eksistensinya. Mari kita ikuti artikulasinya.
Sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) menurut Karl Mannheim adalah salah satu dari cabang-cabang termuda dari sosiologi; sebagai teori, cabang ini berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dan eksistensi; sebagai riset sosiologis-historis, cabang ini berusaha menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh kaitan itu dalam perkembangan intelektual manusia. Sebegitu, sosiologi pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria operasional untuk menentukan kesalingketerkaitan-kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan manusia (Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, hal. 287). Inti tesisnya: ada kaitan erat antara pengetahuan atau pikiran seseorang dengan eksistensinya.
Tesis tersebut bila dipakai untuk mengeksplanasi atau menjelaskan perspektif perilaku berbagai kelompok masyarakat dalam situasi PSBB di Ambon relatif masih cukup sahih. Mari kita sama-sama mencermati betapa pemikiran atau pengetahuan masyarakat umum, kalangan civil society dan pemerintah daerah tentang kebijakan PSBB, cenderung sangat ditentukan oleh eksistensi dan atau latar belakang sosialnya masing-masing. Misalnya mengapa khalayak umum sebagian besar menentang PSBB? Sebabnya, eksistensi hidup mereka terancam oleh kebijakan dimaksud. Mereka tiap hari harus membanting tulang untuk hidup. Sehari-seminggu tidak bekerja atau berusaha dapur mereka kemungkinan besar sudah sulit berasap.
Terus, mengapa pemerintah daerah harus melaksanakan PSBB? Karena per teori, PSBB akan menjamin kehidupan dan keselamatan seluruh warga masyarakat di Kota Ambon. Dan itu adalah aktualisasi salah satu fungsi utama pemerintah yakni sebagai pelindung rakyat. Lalu bagaimana dengan kalangan civil society? Mereka ini umumnya berada di tengah-tengah. Artinya mau PSBB dilaksanakan atau tidak, sesungguhnya sedikit berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi mereka dalam jangka pendek. Bahwa kesehatan dan kenyamanan mereka terganggu ya, tapi problem mendasar terkait kebutuhan makan-minum dan kebutuhan lainnya relatif bisa mereka penuhi sendiri. Oleh karena itu, meski mereka berteriak, tidak sampai menggelegar bak gemuruh guntur.
Kini, bagaimana kita menyikapi tindakan perampasan jenasah dan pemukulan seorang perawat di RSUD Haulussy? Terus terang banyak di antara kita terhenyak, geli atau marah-marah ketika menyaksikan iring-iringan mobil jenasah dihentikan di tengah jalan dan jenasah yang meninggal dirampas karena dianggap yang bersangkutan meninggal bukan karena terpapar virus corona. Pun, pada saat yang tak berselang lama, ada perawat yang digebuk keluarga korban yang meninggal sebagai ekpresi kekesalan dan kemarahan atas disinformasi, pelayanan yang kurang prima, dan menurunnya kredibilitas pemerintah di mata publik terkait penanganan pandemi virus corona. Ini bukan khas Maluku saja. Di daerah-daerah lain, kasus serupa atau hampir sama terjadi pula.
Terkait tindakan merampas jenasah di Batu Merah yang kemudian viral di media sosial dan media massa, bagaimana kita menyikapinya? Menurut saya, seperti terekam dalam video yang diunggah ke medsos, keluarga almarhum sangat yakin bahwa yang bersangkutan meninggal bukan karena virus corona. Hal ini juga terekam dengan jelas saat keluarga korban memberikan keterangan di DPRD Provinsi Maluku pada 9 Juli 2020. Sebagai demikian, menurut pihak keluarga, mengapa almarhum harus dimakamkan mengikuti protokol pemakaman covid-19? Selain itu, tindakan pemukulan terhadap salah satu perawat RSUD Haulussy juga mesti dicarikan ke latar belakangnya, terutama untuk mengungkap faktor-faktor penyebabnya.
Secara teoritis, sosiologi pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan atau pemikiran dan tindakan seseorang turut dipengaruhi oleh eksistensinya. Karl Marx adalah seorang ilmuwan sosial beraliran kiri yang berjasa membuat sebuah tesis terkenal terkait hubungan pemikiran dan eksistensi sosial tersebut. Ia menyatakan: “bukan kesadaran seseorang yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya atau it is not the consciousness of men that determines their being, but on the contrary, their social being that determines their consciousness (lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, 2012, hal. 7):
Ketika menyikapi kasus-kasus tersebut, kita akan bertanya dalam hati: siapakah yang benar atau salah? Dapatkah pengetahuan seseorang dilepaskan dari unsur subyektivitasnya? Dari eksistensinya? Bagaimana pula menakar kebenaran atau kesalahan pengetahuan seseorang? Menurut sosiologi pengetahuan, daripada kita terlibat pada perdebatan yang mana di antara dua pendapat yang merupakan kebenaran obyektif, lebih baik kita menjelaskan hubungan antara pengetahuan tersebut dengan perspektif psikologi dan sosial dari manusia yang memproduksi pengetahuan tersebut (Lihat Kata Pengantar Arief Budiman untuk buku Karl Mannheim, op.cit, hal. xv). Melalui semua itu, pengetahuan kita akan semakin bertambah kaya.
Dalam pandangan Arief Budiman (sosiolog dan cendekiawan garda depan dari UKSW), hanya melalui pemahaman atau kesadaran tentang kaitan pengetahuan atau pikiran seseorang dengan eksistensinya tersebut, “kita tidak menjadi ngotot untuk menyatakan bahwa pengetahuan kitalah yang paling benar, yang paling obyektif, dan karena itu harus diikuti” (Arief Budiman dalam Karl Mannheim, ibid, hal. xx), sementara yang lain salah, subyektif dan karena itu tidak perlu didengar. Bukan itu yang dimaksudkan! Berempati adalah cara kreatif untuk membangun saling pengertian (mutual understanding) dan saling percaya (mutual trust) di antara kita. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk beranjak jauh.
Yang dimaksudkan ialah kesadaran (yang didasarkan kepada pengetahuan) dari keluarga korban tidak bisa dilepaspisahkan dari konteks keberadaan penyakit yang diderita almarhum sebelumnya. Menurut keluarganya, almarhum awalnya dirawat di Masohi karena menderita kanker rektum, diabetes, maag akut dan saraf. Mengapa tiba-tiba divonis menderita virus corona? Di pihak lain, pihak Gustu Covid-19 Maluku tetap pada pendiriannya bahwa yang bersangkutan meninggal karena terinfeksi virus corona.
Dari fakta tersebut kemudian kita mendapatkan pemahaman bahwa sikap atau tindakan keluarga pasien tidak sepenuhnya salah karena kesadaran (pengetahuan) mereka sebelumnya tentang komplikasi penyakit yang diderita almarhum. Pihak Gugus Tugas Covid-19 Maluku pun tidak serta merta disalahkan karena hasil tes menunjukkan almarhum menderita virus corona, namun karena sistem penanganan penyakit menular seperti virus corona bersifat tertutup, makanya prasangka sosial mudah sekali tersulut di masyarakat. Prasangka yang sama juga telah menyebabkan pemukulan terhadap seorang perawat RSUD Haulussy tak lama sesudah itu.
Pada akhirnya apa pelajaran yang bisa kita petik dari polemik seputar PSBB di Ambon? Paling tidak, mulai dari sekarang kecenderungan subyektif kita untuk membenarkan pengetahuan atau pemikiran kita sendiri sudah saatnya kita relatifkan atau tinggalkan. Sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) telah mengajarkan dan menginspirasi kita semua untuk semakin menghargai warna-warni pemikiran setiap warga masyarakat. Olehnya itu, klaim tentang kebenaran pengetahuan atau pemikiran jangan lagi menjadi monopoli seseorang atau segelintir orang lagi.
Kini, kita semua harus menghayati perbedaan pemikiran/pengetahuan di antara kita, untuk sebagian karena dipengaruhi oleh latar belakang eksistensial kita masing-masing. Itu berarti, seharusnya setiap perbedaan dapat kita kelola secara kreatif dan positif sehingga menjadi kesatuan yang saling menyinari dan saling menghidupkan. Untuk itu, diakhir tulisan ini, mari sama-sama kita batinkan kata-kata bernas dari Yudi Latif: “perbedaan mesti disikapi dalam spirit “yin dan yang”. Seperti memandang kehadiran malam (gelap) dan siang (terang) – dua hal yang tampak berbeda, tetapi saling melengkapi sebagai bagian dari kesatuan kesempurnaan kehidupan” (Lihat artikel Yudi Latif di harian Kompas 9/7/2020, Memperkuat Identitas Nasional, hal. 1 dan 16). (Penulis)